CHUO SANGI-IN
(Dewan Pertimbangan Pusat pada Masa Pendudukan Jepang)
Ketika
kedatangan militer Jepang ke Indonesia, sikap bangsa Indonesia pada
umumnya menerima dengan baik. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan
bangsa Indonesia dapat menerima dengan baik akan kedatangan jepang,
yakni berasal dari fakor intern dan ekstern. Faktor intern yakni, dari
pihak bangsa Indonesia adanya Ramalan Jayabaya, bahwasanya akan datang
bangsa kulit kuning yang akan membantu rakyat Indonesia agar terbebas
dari penjajahan kolonial Belanda. Selain itu juga dari pihak Jepang yang
datang ke Indonesia, menyatakan bahwa mereka datang sebagai saudara tua
yang akan melindungi wilayah Asia, khususnya rakyat Indonesia dari
penjajahan pihak Sekutu. Faktor ekstern yakni, kemenangan Jepang atas
Rusia, hal ini menjadi inspirasi bagi kaum Nasionalis untuk bekerjasama
dengan Jepang dalam mencapai kehidupan bangsa Indonesia yang lebih baik.
Pendudukan
militer Jepang di Indonesia pada tahun 1942 bersamaan perang melawan
sekutu, sehingga tidak memungkinkan Jepang untuk mendirikan sistem
perwakilan rakyat di Indonesia. Pemerintahan militer Jepang hanya mendirikan ”Dewan Pertimbangan Pusat (Chuo
Sangi-in)”. Dewan ini hanya bertugas memberikan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pemerintah militer Jepang,
serta mengajukan pendapat yang tidak ada akibatnya bila tidak
dilaksanakan oleh pemerintah militer Jepang.
Buku ini berisi tentang bagaimana pembentukan dan sidang-sidang yang dilaksanakan Chuo Sangi-in dalam upaya pencapaian kemerdekaan Indonesia. Bahwasanya dasar pembentukan Chuo Sangi-in adalah
adanya partisipasi politik bagi orang-orang Indonesia, khususnya Jawa.
Hal ini bertujuan untuk mempromosikan kerjasama penduduk Jawa yang
merupakan kunci penting dalam memperkuat pertahanan diwilayah Asia
Tenggara.
Pada tanggal 5 september 1943 Saiko Shikikan (Panglima Tertinggi Tentara Keenam Belas) mengeluarkan Osamu Seirei No. 36 tentang pembentukan Chuo Sangi-in. Berdasarkan Osamu Seirei
No. 36 ini, hal-hal yang boleh dirundingkan antara lain, pengembangan
pemerintah militer, mempertinggi derajat rakyat, pendidikan, penerangan,
industri, ekonomi, kemakmuran, bantuan sosial, dan kesehatan. Namun,
pada kenyataannya semua itu sama sekali tidak pernah diwujudkan oleh
pemerintah militer Jepang, walaupun berulangkali telah diusulkan Chuo Sangi-in
dalam sidang-sidangnya. Bahkan, sebaliknya derajat, kemakmuran,
kesejahteraan dan kesehatan rakyat semakin menurun sejak pendudukan
militer Jepang. Karena pada dasarnya kebijakan ini hanya diarahkan kepada usaha untuk membantu segala keperluan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
Keanggotaan Chuo Sangi-in terdiri dari para anggota Chuo Sangi-in dan sekretariat Chuo Sangi-in atau disebut Zimukyoku, yang diangkat oleh Saiko Shikikan. Anggota Chuo Sangi-in
terdiri dari 23 orang, 21 orang diantaranya berasal dari golongan
Nasionalis yakni Ir.Sukarno, Drs.Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara,
dll. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan kaum Nasionalis lebih mendapat
perhatian khusus oleh pemerintah militer Jepang, daripada kedudukan
mereka dalam Volksraad (Dewan
rakyat) pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Adapun
fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh pemerintah Jepang terhadap
anggota Chuo Sangi-in adalah berupa uang jabatan, uang jalan, dan uang saku.
Sidang pertama Chuo Sangi-in,
yang dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober 1943, diangkat Ir.Sukarno
sebagai ketua, R.M.A.A Koesoemo Oetojo dan dr. Boentaran Martoatmojo
sebagai wakil ketua. Adapun pokok pembicaraan dalam sidang tersebut
yaitu, bagaimana cara memperkuat tenaga untuk kepentingan perang Asia
Timur Raya dengan menggerakkan semua sumber, baik tenaga manusia (Romusha)
maupun benda, khususnya bagi Jawa. Selain itu juga dibicarakan masalah
memperbesar hasil bumi untuk dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan
memperbesar kekuatan perang. Semua hal itu bertujuan hanya untuk
kepentingan Jepang tanpa memperhatikan kepentingan rakyat Indonesia.
Dimana para petani Jawa diharuskan menyerahkan atau menjual padinya
dengan harga yang tela ditetapkan pemerintah militer Jepang,. Hal ini
menyebabkan petani Jawa semakin menderita.
Sidang kedua Chuo Sangi-in
yang dilaksanakan pada tanggal 30 Januari hingga 3 Februari 1944,
membahas tentang penyempurnaan kekuatan Jawa. Bahwasanya posisi Jepang
dalam peperangan Asia Timur Raya sudah dalam keadaan bertahan, sementara
pihak Sekutu dalam posisi menyerang. Sehingga keadaan inilah yang
meyebabkan Jepang sangat membutuhkan pengerahan kekuatan pasukan
khususnya dari penduduk Jawa.
Di dalam sidang tersebut Saiko Shikikan
menyatakan bahwa perlunya cara praktis dan nyata untuk menyempurnaan
kekuatan di Jawa dalam menghadapi pertempuran dengan pihak sekutu.
Adapun upaya yang akan dilakukan oleh Chuo Sangi-in
adalah, memperkokoh dan memperkuat tenaga militer seperti Peta dan
Heiho, serta menyusun kekuatan militer dari penduduk Jawa, yang nantinya
akan dijadikan sebagai prajurit perang.
Sidang ketiga Chuo Sangi-in
yang dilaksanakan pada tanggal 7 hingga 11 Mei 1944, membahas tentang
bagaimana cara memperdalam kesadaran seluruh rakyat akan kewajibannya
untuk menyelesaikkan perang dan rasa persaudaraan diantara rakyat. Di
Jawa khususnya harus dikerahkan penambahan tenaga perang dengan
menjauhkan segala bentuk perselisihan yang menjadi rintangan bagi
persaudaraan dan persatuan. Selain itu juga diharapkan adanya usaha
praktis untuk menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri, yang
berhubungan dengan kebutuhan perang. Dalam hal ini Chuo Sangi-in menganjurkan segera dibentuk barisan pelopor dalam Jawa Hokokai yang siap mengorbankan dirinya untuk turut berjuang dalam perang. Maka dari itu usaha ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya suasana persahabatan.
Sidang keempat Chuo Sangi-in
yang dilaksanakan pada tanggal 12 hingga 16 Agustus 1944, membahas
tentang upaya peningkatan tenaga kerja, penyempurnaan hasil produksi dan
memperkuat pembelaan rakyat terhadap tanah airnya. Dalam sidang ini
diusulkan upaya penyempurnaan hasil produksi, baik di pabrik,
perusahaan, hutan maupun sawah-sawah, maka diperlukan ”Tenaga pekerja”
baik pria maupun wanita. Selain itu juga diusulkan dibentuk ”Badan
Pembantu Pekerja” yang berada dibawah Jawa Hokokai.
Untuk semakin memeperkuat pembelaan rakyat terhadap tanah airnya maka
didalam sidang ini diusulkan adanya penanaman faham ”Bakti kepada tanah
air”. Selain itu juga diusulkan adanya pemberian tanda jasa kepada para
prajurit Jepang, agar dapat mengobarkan semangat rakyat untuk ikut
berperang.
Sidang kelima Chuo Sangi-in
yang dilaksanakan pada tanggal 11 September 1944, membahas upaya tindak
lanjut akan janji kemerdekaan bagi Indonesia (Janji Koiso). Sebagai upaya menyambut ”Janji Koiso”, maka Chuo Sangi-in
menyatakan kesanggupannya bangsa Indonesia untuk terus berjuang bersama
Jepang, serta menanamkan semangat keprajuritan dalam hati seluruh
rakyat Indonesia agar menjadi bangsa yang kuat dan merdeka. Selain itu
juga berusaha untuk memperkuat dan memperbesar pasukan Peta (Pembela Tanah Air) dan Heiho (Barisan Pemuda), semakin menggerakkan tenaga kerja serta melipatgandakan produksi.
Adapun tindakan pemerintah militer Jepang terhadap atas pernyataan Chuo Sangi-in
yakni pada tanggal 6 Februari 1945 mengharuskan penduduk membantu
Jepang dengan mengerahkan harta benda untuk kepentingan perang. Dengan
adanya hal ini justru membuat rakyat Indonesia semakin menderita dan
miskin.
Sidang keenam Chuo Sangi-in
yang dilaksanakan pada tanggal 12 hingga 17 November 1944, membahas
upaya untuk mempersatukan segala tenaga baik manusia maupun benda (hasil
bumi) yang ada di Pulau Jawa, serta mempertinggi derajat rakyat menuju
kearah perjuangan dan pembentukan Indonesia merdeka. Dalam upaya
memperkuat segala tenaga yang ada yakni dengan cara pemberian senjata
yang sesungguhnya bagi prajurit rakyat dalam latihan. Kemudian dalam
rangka mempertinggi derajat rakyat diupayakan untuk menambah ilmu
pengetahuan bagi para rakyat prajurit. Namun, usulan dari Chuo Sangi-in ditolak
oleh pemerintah militer Jepang, karena kekhawatirannya jika nantinya
justru akan membahayakan posisi Jepang di Indonesia.
Sehubungan
dengan semakin terjepit dan melemahnya keadaan Jepang pada peperangan
melawan sekutu, Jepang tetap mempertahankan kekuasaanya atas Indonesia.
Walaupun demikian janji kemerdekaan dikemudian hari bagi Indonesia telah
diberikan, namun janji tersebut akan diwujudkan setelah Jepang menang
melawan Sekutu. Sementara itu keadaan ekonomi dalam negeri yang semakin
memburuk, sehingga menyebabkan
keresahan rakyat yang mencapai puncak pada pemberontakan
didaerah-daerah. Hal ini terjadi karena keinginan kuat rakyat Indonesia
untuk segera terwujudnya kemerdekaan yang telah dijanjikan. Akhirnya
pemerintah militer Jepang mulai memperlunak kekuasaan dan pengawasannya
terhadap kehidupan politiik Indonesia. Hal ini terbukti pada sidang Chuo Sangi-in yang ketujuh, dimana para anggota Chuo Sangi-in sudah mulai bebas menyatakan kritik-kritik terhadap pemerintah militer Jepang.
Sidang ketujuh Chuo Sangi-in
yang dilaksanakan pada tanggal 21 hingga 26 Februari 1945, membahas
tentang dasar usaha untuk mencapai kemenangan akhir dalam perang dan
tercapainya kemerdekaan Indonesia dikemudian hari, sebagaimana yang
telah dijanjikan oleh pemerintah militer Jepang. Adapun usaha utama yang
hendak diupayakan yakni dengan memperbesar tenaga produktif agar dapat
melipatgandakan hasil bumi dan pertahanan dalam upaya meraih kemengan
Jepang dalam perang. Maka dari itu untuk mencapai Indonesia merdeka
diperlukan adanya persatuan seluruh rakyat Indonesia. Dalam sidang ini
juga dikeluarkan mosi perjuangan dan semboyan ”merdeka atau mati”.
Ketika
Jepang semakin mengalami kekalahan dalam perang melawan sekutu, hal ini
justru dimanfaatkan bangsa Indonesia untuk dapat menentukan nasibnya
sendiri dalam meraih kemerdekaan. Hal ini diwujudkan pada sidang
kedelapan Chuo Sangi-in yang
dilaksanakan pada tanggal 18 hingga 21 Juni 1945, membahas tentang
bagaimana upaya dalam membangkitkan semangat rakyat untuk memperkuat
persiapan kemerdekaan Indonesia dengan cepat. Upaya yang dilakukan yakni
mengadakan gerakan semangat (cinta tanah air, mengembangkan sifat
keprajuritan), memperluas tentara Peta dengan cara penyempurnaan latihan
pembelaan dan perang bagi rakyat. Selain itu Chuo Sangi-in mengusulkan agar diadakan perbaikan kehidupan rakyat didesa
dan mengajukan mosi yang menyatakan ”agar kaum pemuda bersatu untuk
menghancurkan musuh dan mempertahankan Indonesia”. Semua hal ini
dipersiapkan untuk mencapai negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat
secara penuh.
Permintaan Chuo Sangi-in untuk
memasukkan para pemuda dan para pemimpin militer kedalam kepemimpinan
nasional merupakan gambaran ketidaksabaran yang secara luas terasa dan
semakin meningkat dikalangan oang Indonesia, karena keterlambatan Jepang
dalam melaksanakan janji kemerdekaan bagi Indonesia. Sebagai tindakan
pemerintah militer Jepang atas usulan dari Chuo Sangi-in,
maka dibentuklah ”Gerakan Rakyat Baru”, pada tanggal 2 Juli 1945. Dalam
hal ini organisasi pemuda yang tergabung didalamnya harus tunduk pada
perwakilan sipil (tokoh nasionalis, Jawa hokokai, masyumi) yang diangkat
Gunseikan untuk bekerjasama dengan pemerintah militer Jepang
Namun,
semua rencana Jepang akhirnya terkubur seiring perkembangan keadaannya,
dimana Jepang mengalami kekalahan dalam perang melawan Sekutu. Pada
tanggal 7 Agustus 1945 penguasa tinggi Wilayah Selatan Jepang mengambil
inisiatif dari penguasa Jepang di Jakarta untuk mendirikan ”Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia”. Ketika panitia ini mulai bersidang,
Jepang telah menandatangani perjanjian Postdam, dimana Jepang menyerah
tanpa syarat pada Sekutu. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia
mencapai kemerdekaan, tanpa campurtangan dari Jepang. Dan dengan
sendirinya Chuo Sangi-in bentukan Jepang pun berakhir kegiatannya, tanpa suatu pembubaran secara resmi.
0 komentar:
Posting Komentar