Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat, Indonesia pada 24 Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung membakar rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.
Latar belakang - Pasukan Inggris
bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober
1945. Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang.
Mereka menuntut agar semua senjata api yang ada di tangan penduduk,
kecuali TKR dan polisi, diserahkan kepada mereka. Orang-orang Belanda
yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan
yang mulai mengganggu keamanan.
Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR tidak dapat
dihindari. Malam tanggal 24 November 1945, TKR dan badan-badan
perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di
bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka
gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian, MacDonald menyampaikan
ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara dikosongkan oleh
penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.
Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, sebutan
bagi TNI pada saat itu) meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk
melakukan operasi "bumihangus". Para pejuang pihak Republik Indonesia
tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA.
Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah
Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan
perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 24 Maret 1946.
Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRI
mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan evakuasi Kota
Bandung. Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir
panjang meninggalkan kota Bandung dan malam itu pembakaran kota
berlangsung. Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan
maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakan Bandung sebagai markas
strategis militer. Di mana-mana asap hitam mengepul membubung tinggi di
udara dan semua listrik mati.
Tentara Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi.
Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah
selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik Tentara
Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota
milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi untuk
menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan
gudang tersebut dengan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar
bersama kedua milisi tersebut di dalamnya.
Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam
kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00 itu juga
ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat itu,
kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan
TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota, sehingga Bandung pun
menjadi lautan api.
Pembumihangusan Bandung tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat
dalam Perang Kemerdekaan Indonesia karena kekuatan TRI dan milisi rakyat
tidak sebanding dengan kekuatan pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah
besar. Setelah peristiwa tersebut, TRI bersama milisi rakyat melakukan
perlawanan secara gerilya dari luar Bandung.
Peristiwa ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang nama penciptanya
masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo,
Halo Bandung" secara resmi ditulis, menjadi kenangan akan emosi yang
para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu
untuk kembali ke kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.
Asal istilah - Istilah Bandung Lautan Api menjadi istilah yang terkenal
setelah peristiwa pembumihangusan tersebut. Jenderal A.H Nasution adalah
Jenderal TRI yang dalam pertemuan di Regentsweg (sekarang Jalan Dewi
Sartika), setelah kembali dari pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di
Jakarta, memutuskan strategi yang akan dilakukan terhadap Kota Bandung
setelah menerima ultimatum Inggris tersebut.
"Jadi saya kembali dari Jakarta,
setelah bicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam pembicaraan itu di
Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah, disitu
timbul pendapat dari Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia
berpendapat, “Mari kita bikin Bandung Selatan menjadi lautan api.” Yang
dia sebut lautan api, tetapi sebenarnya lautan air." - A.H Nasution, 1
Mei 1997.
Istilah Bandung Lautan Api
muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946. Seorang
wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan
pembakaran Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk,
Garut. Dari puncak itu Atje Bastaman melihat Bandung yang memerah dari
Cicadas sampai dengan Cimindi. Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje
Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan memberi judul
"Bandoeng Djadi Laoetan Api". Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan
judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi "Bandoeng Laoetan
Api".
Lagu Halo, Halo Bandung menjadi sangat terkenal dan menjadi simbol
perjuangan bangsa Indonesia. Sampai hari ini sebagian masyarakat
Indonesia meyakini bahwa lagu tersebut diciptakan oleh salah satu
maestro musik Indonesia, Ismail Marzuki, namun sebagian kalangan juga
masih meragukan hal tersebut, karena sumber informasi yang tak jelas
mengenai lagu tersebut, ditambah dengan kondisi industri musik Indonesia
yang kurang memprioritaskan perlindungan hak cipta.
Nama pencipta resmi dari lagu Halo, Halo Bandung masih diragukan
sebagian masyarakat Indonesia. Perdebatan tentang siapa pencipta lagu
Halo-Halo Bandung sebenarnya sudah lama terjadi. Di dalam buku Saya
Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan yang
ditulis Ratnayu Sitaresmi, Pestaraja HS Marpaung menyebutkan bahwa
polemik itu mulai terjadi pada 1995. Pestaraja Marpaung adalah salah
seorang pejuang yang sempat bergabung ke dalam Pasukan Istimewa (PI)
Indonesia dan turut terlibat langsung dalam peristiwa Bandung Lautan
Api.
Komponis senior Indonesia, AT Mahmud, membenarkan adanya polemik
tersebut, dengan menyebutkan bahwa lagu tersebut tidak diketahui siapa
penciptanya, menurut kutipan dari surat kabar Pikiran Rakyat edisi 23
Maret 2007. "Informasi yang saya dengar, lagu tersebut, seharusnya, NN
(No Name; Pencipta tak diketahui-red.)". Saya sendiri tak tahu bagaimana
kemudian lagu itu jadi ciptaan Ismail Marzuki,” ungkapnya, ketika
dihubungi, Kamis (22/3) petang."
Sejauh ini, masyarakat Indonesia menganggap bahwa lagu perjuangan
tersebut merupakan ciptaan Ismail Marzuki. Akan tetapi, banyak orang
yang meragukannya. Hal ini karena berkecenderungan Ismail untuk mencipta
lagu-lagu berirama lambat dan romantis. Sementara Halo-Halo Bandung
dimasukkan dalam kategori lagu mars yang berirama cepat dan heroik.
Keraguan ini ditentang oleh pengamat musik Indonesia yang mengatakan
bahwa Ismail Marzuki adalah pencipta lagu yang dinamis, karena terdapat
sisi romantisme yang adalah ciri khas Ismail Marzuki dalam lagu
tersebut.
Anggapan lain muncul bahwa Cornel Simanjuntak, salah seorang pencipta
lagu dan pahlawan nasional Indonesia kelahiran Sumatera Utara, adalah
pencipta lagu Halo-Halo Bandung. Sementara Ibu Kasur, salah seorang
tokoh komponis senior Indonesia, mengatakan bahwa mendiang suaminya, Pak
Kasur yang juga tokoh komponis Indonesia, mengatakan bahwa lagu
tersebut diciptakan oleh seseorang bernama Tobing. Dalam buku Saya Pilih
Mengungsi, Pestaraja Marpaung menyatakan bahwa Bona L Tobing adalah
orang yang pertama kali mengucapkan "Halo! Halo Bandung!" yang menjadi
sumber inspirasi lagu tersebut.
"Ceritanya, pada suatu malam, di Ciparay, diselenggarakan perayaan
Batak. Di sana, disediakan pula sebuah panggung dan memberikan
kesempatan kepada pengunjung yang ingin menyumbangkan lagu. Seorang
pemuda Batak bernama Bona L. Tobing, tiba-tiba menyapa, "Halo!" kepada
Kota Bandung di kejauhan, “Halo Bandung!". Kemudian sapaan itu memiliki
irama, “Halo-Halo Bandung” seperti irama yang dikenal saat ini. "Akan
tetapi, irama itu tidak selesai karena malam sudah larut,".
Di dalam buku Saya Pilih Mengungsi, Pestaraja Marpaung, yang akrab
dipanggil Bang Maung, menyebutkan bahwa lagu tersebut bukan ciptaan
perseorangan melainkan merupakan ciptaan bersama para pejuang di
Ciparay, Bandung Selatan, tanpa melihat asal-usul suku bangsa. Hal
tersebut dicerminkan dengan penggunaan kata "Halo!" yang adalah sapaan
khas pemuda dari Medan, Sumatera Utara, yang ditimbulkan dari pengaruh
film-film koboi dari Amerika yang sering diputar pada waktu itu.
Ditambah dengan penggunaan kata "beta", bahasa daerah Ambon, Maluku,
yang berarti "saya".
Berikut kutipan dari buku Saya Pilih Mengungsi tentang cerita Pestaraja
Marpaung mengenai penciptaan lagu Halo-Halo Bandung. "Sebagai pejuang,
Bang Maung pun turut menyusup ke Kota Bandung, setiap malam, setelah
peristiwa Bandung Lautan Api. "Siang hari tidak ada kerja. Jadi di
Ciparay ini, anak-anak Bandung dari Pasukan Istimewa tiduran. ‘Eh, lagu
yang kemarin itu mana? Halo! Halo Bandung! de-de-de— (berirama
menurun).’ Setelah lama, orang Ambon juga ikut. Pemuda Indonesia Maluku
itu, di antaranya Leo Lopulisa, Oom Teno, Pelupessy.
Sesudah Halo-Halo Bandung, datang orang Ambonnya. Sudah lama beta! tidak
bertemu dengan kau!’ Karena itu, ada ‘beta’ di situ. Bagaimana kata itu
bisa masuk kalau tidak ada dia di situ. Si Pelupessy-lah itu, si Oom
Tenolah itu, saya enggak tahu. Tapi, sambil nyanyi bikin syair. Itulah
para pejuang yang menciptakannya. Tidak ada itu yang menciptakan. Kita
sama-sama saja main-main begini. Jadi, kalau dikatakan siapa pencipta
(Halo-Halo) Bandung? Para pejuang Bandung Selatan,” ucapnya."
Sumber:
http://kalender-peristiwa.blogspot.com/2013/03/peristiwa-bla-bandung-lautan-api.html
0 komentar:
Posting Komentar