Pada
 jaman dahulu kala di rantau Mahakam, terdapat sebuah dusun yang didiami
 oleh beberapa keluarga. Mata pencaharian mereka kebanyakan adalah 
sebagai petani maupun nelayan. Setiap tahun setelah musim panen, 
penduduk dusun tersebut biasanya mengadakan pesta adat yang di isi 
dengan beranekaragam pertunjukkan ketangkasan dan kesenian. 
Ditengah
 masyarakat yang tinggal di dusun tersebut, terdapat suatu keluarga yang
 hidup rukun dan damai dalam sebuah pondok yang sederhana. Mereka 
terdiri dari sepasang suami-istri dan dua orang anaknya putra dan putri.
 Kebutuhan mereka tidak terlalu sukar untuk di penuhi karena meraka 
mempunyai kebun yang ditanami berbagai jenis buah-buahan dan 
sayur-sayuran. Begitu pula dengan segala macam masalah bisa diatasi 
dengan cara yang bijaksana, sehingga mereka hidup dengan bahagia selama 
bertahun-tahun.
Pada
 suatu ketika sang ibu terserang suatu penyakit. Walau telah diobati 
oleh beberapa orang tabib , namun sakit sang ibu tak kunjung sembuh pula
 hingga akhirnya ia meninggal dunia. Sepeninggal sang ibu, kehidupan 
keluarga ini mulai tak terurus lagi. Mereka larut dalam kesedihan yang 
mendalam karena kehilangan orang yang sangat mereka cintai. Sang ayah 
menjadi pendiam dan pemurung, sedangkan kedua anaknya diliputi rasa 
bingung, tak tahu meski apa yang dilakukan. Keadaan rumah dan kebun kini
 sudah tak terawat lagi. Beberapa sesepuh desa telah mencoba menasehati 
sang ayah agar tidak larut dalam kesedihan, namun nasehat-nasehat mereka
 tak dapat memberikan perubahan padanya. Keadaan ini berlangsung cukup 
lama.       Suatu hari di dusun 
tersebut kembali di adakan pesta adat panen. Berbagai pertunjukkan dan 
hiburan kembali di gelar. Dalam suatu pertunjukkan ketangkasan, 
terdapatlah seorang gadis yang cantik dan mempesona sehingga selalu 
mendapat sambutan pemuda-pemuda dusun bila ia bereaksi, mendengar berita
 yang demikian itu, tergugah juga sang ayah untuk turut mrnyaksikan 
bagaimana kehebatan pertunjukkan yang begitu di puji-puji penduduk dusun
 hingga banyak pemuda yang tergila-gila dibuatnya. 
Malam
 itu adalah malam ketujuh dari acara keramaian yang dilangsungkan. 
Perlahan-lahan sang ayah berjalan mendekati tempat pertunjukkan dimana 
gadis itu akan bermain. Sengaja ia berdiri di depan agar dapat dengan 
jelas menyaksikan permainan serta wajah sang gadis. Akhirnya 
pertunjukkan pun dimulai, berbeda dengan penonton lainnya, sang ayah 
tidak banyak tertawa geli atau memuji-muji penampilan sang gadis. Walau 
demikian sekali-kali ada juga sang ayah tersenyum kecil. Sang gadis 
melemparkan senyum manisnya kepada para penonton yang memujinnya maupun 
yang menggodanya. Suatu saat, akhirnya bertemu jua pandangan antara si 
gadis dan sang ayah. Kejadian itu berulang beberapa kali, dan tidaklah 
diperkenankan sama sekali kiranya bahwa terjalin rasa cinta antara sang 
gadis dengan sang ayah dari dua orang anak tersebut.
Demikianlah
 keadaanya, atas persetujuan kedua belah pihak dan restu dari para 
sesepuh maka dilangsungkanlah pernikahan anatara mereka setelah pesta 
adat didusun tersebut usai. Dan berakhir pulalah kemurungan keluarga 
tersebut, kini mulailah mereka menyusun hidup baru. Mereka mulai 
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang dahulunya mereka tidak usahakan 
lagi. Sang ayah kembali rajin berladang dengan dibantu kedua anaknya , 
sementara sang ibu tiri tinggal di rumah menyiapkan makanan bagi mereka 
sekeluarga. Begitulah seterusnya sampai berbulan-bulan lamanya hingga 
kehidupan mereka cerah kembali.
Dengan
 keadaan yang demikian, tidaklah diduga sama sekali ternyata sang ibu 
tiri tersebut lama-kelamaan memiliki sifat yang kurang baik terjadap 
kedua anak tirinya. Kedua anaknya baru diberi makan setelah ada sisa 
dari ayahnya. Sang ayah hanya dapat memaklumi perbuatan istrinya itu, 
tak dapat berbuat apa-apa karena dia sangat mencintainya. Akhirnya 
seluruh rumah tangga diatur dan berada di tangan istri muda yang serakah
 tersebut. Kedua anak tirinya disuruh bekerja keras setiap hari tanpa 
mengenal lelah dan bahkan disuruh mengerjakan hal-hal yang diluar 
kemampuan mereka.
Pada
 suatu ketika, sang ibu tiri telah membuat rencana jahat. Ia menyuruh 
kedua anak tirinya untuk mencari kayu bakar di hutan . 
“kalian
 berdua hari ini harus mencari kayu bakar lagi!” perintah sang ibu. 
“jumlahnya harus tiga kali lebih banyak dari yang kalian peroleh 
kemarin. Dan ingat! Jangan kalian pulang sebelum kayunya banyak 
dikumpulkan. Mengerti?!
“Tapi bu…” jawab anak laki-lakinya, “untuk apa kayu bakar sebanyak itu….?  Kayu yang ada saja masih cukup banyak, nanti kalau sudah hampir habis baru kami mencarinya lagi…”
“apa
 kalian sudah berani membantah ya!? Nanti ku laporkan ke ayah mu bahwa 
kalian pemalas! Ayo berangkat sekarang juga !!” kata si ibu tiri dengan 
malasnya.
Anak
 tiri yang perempuan kemudian menarik tangan kakaknya untuk segera 
pergi. Ia tau bawa ayahnya telah di pengaruhi oleh sang ibu tiri, jadi 
sia-sia untuk membantah karena tetap akan dipermasalahkan jua.
 Setelah membawa beberapa perlengkapan, berangkatlah mereka menuju 
hutan. Hingga senja menjelang, kayu yang dikumpulkan belum mencukupi 
seperti yang diminta ibu tiri mereka. Terpaksalah mereka harus bermalam 
di hutan dalam sebuah bekas pondok seseorang agar dapat meneruskan 
pekerjaan mereka esok harinya. Baru tengah malam barulah mereka dapat 
terlelap walau rasa lapar masih membelit perut mereka.
Esok
 paginya, mereka pun mulai mengumpulkan kayu sebanyak-banyaknya. 
Menjelang tengah hari, rasa lapar pun tak tertahankan lagi, akhirnya 
mereka tergletak di tanah selama beberapa saat. Dan tanpa mereka 
ketahui, seseorang kakek tua datang menghampiri mereka. “apa yang kalian
 lakukan, anak-anak?!” Tanya kakek itu kepada mereka. Kedua anak yang 
malang itu langsung menceritakan semua, termasuk tingkah ibu tiri mereka
 dan keadaan mereka yang belum makan nasi sejak kemarin hingga rasanya 
tak sanggup lagi untuk meneruskan pekerjaan. “kalau begitu … pergilah 
kalian kearah sana .” kata si kakek sambil menunjukkan kearah rimbunan 
belukar, “disitu terdapat banyak pohon buah-buahan. Makanlah sepuasnya 
sampai kenyang. Tapi ingat, janganlah di cari esok harinya karena akan 
sia-sia saja. Pergilah sekarang juga!”
Sambil
 ngucapkan terima kasih, kedua kakak beradik itu kemudian bergeges ke 
tempat yang di maksud. Ternyata benar apa yanag dikatakan oleh kakek 
tadi, di sana terdapat beraneka macam pohon buah-buahan. Buah durian, 
nangka, cempedak, wanyi, mangga, dan pepaya yang telah masak Nampak 
berserakan di tanah. Buah-buahan lainnya seperti pisang, rambutan, dan 
kelapa gading masih Nampak bergantung di pohonnya. Mereka kemudian makan
 buah-buahan hingga kenyang dan badan terasa segar kembali. Setelah 
istirahat beberapa saat , mereka dapat kembali melanjutkan pekerjaan 
mengumpulkan kayu hingga sesuai dengan apa yang di minta ibu tiri.
Menjelang
 sore, sedikit demi sedikit kayu yang jumlahnya banyak itu berhasil 
diangsur semuanya ke rumah. Mereka kemudian menyusun kayu-kayu tersebut 
tanpa memperhatikan keadaan rumah. Setelah tuntas, barulah mereka naik 
untuk melapor kepada sang ibu tiri, namun alangkah terkejutnya ketika 
isi rumah yang telah kosong melompong. Ternyata ayah dan ibu tiri mereka
 telah pergi meninggalkan rumah itu. Seluruh harta benda di dalam rumah 
tersebut telah habis dibawa serta, ini berarti mere pergi dan tak akan 
kembali kerumah itu. Kedua kakak beradik itu kemudian menangis 
sejadi-jadinya. Mendengar tangisan keduanya, berdatanganlah tetangga 
sekitarnya untuk mengetahui apa gerangan yang terjadi. Mereka terkejut 
setelah mengetahui bahwa ayah dan ibu tiri anak-anak tersebut telah 
pindah secara diam-diam. 
Esok
 harinya, kedua anak tersebut bersikeras untuk mencari orang tuanya. 
Mereka memberitahukan rencana tersebut ke tetangga terdekat. Beberapa 
tetangga yang iba kemudian menukar kayu bakar dengan bekal bahan makanan
 bagi perjalanan kedua anak itu. Menjelang tengah hari, berangkatlah 
mereka untuk mencari ayah dan ibu tiri mereka. Telah dua hari mereka 
berjalan tetapi orang tua mereka belum juga dijumpai, sementara 
perbekalan makanan sudah habis. Pada hari ketiga, sampailah mereka di 
suatu daerah yang berbukit dan tampaklah oleh mereka asap api mengepul 
di kejauhan. Mereka segera menuju ke arah tempat itu, sekedar bertanya 
kepada penghuninnya barangkali mengetahui atau melihat kedua orang tua 
mereka.
Mereka
 akhirnya menjumpai sebuah pondok yang sudah reot. Tampak seorang kakek 
tua yang sedang duduk-duduk di depan pondok tersebut. Kedua kakak 
beradik itu lalu member hormat kepada kakek tua dan member salam. 
“dari
 mana kalian ini? Apa maksud kalian hingga datang ke tempat saya yang 
jauh terpencil ini?” Tanya sang kakek sambil sesekali terbatuk-batuk 
kecil. 
“maaf tok.” Kata si anak laki-laki. “kami ini sedang mencari urangtuha kami. Apakah datok pernah melihat seorang laki-laki setengah baya dan seorang perempuan yang masih muda lewat di sini?” 
Sang
 kakek terdiam sebentar sambil mengernyitkan keningnya, tampaknya iya 
sedang berusaha keras untuk mengingat-ingat sesuatu. “hhhmmm. Beberapa 
hari yang lalu memang ada sepasang suami istri yang datang kesini.” Kata
 si kakek kemudian, mereka banyak sekali membawa barang. Apakah kalian 
itu yang mereka cari?” 
“Tak salah lagi, tok.” Kata anak laki-laki dengan gembira. “mereka pasti urangtuha kami! Ke arah mana mereka pergi tok?” 
“waktu
 itu mereka meminjam perahu ku untuk menyeberangi sungai, mereka bilang 
mereka ingin menetap di seberang sana dan hendak membuat sebuah pondok 
dan berkebun baru. Cobalah kalian cari di seberang sana.” 
“terima kasih, tok..” kata si anak sulung tersebut. “tapi.. bisakah datok mengantarkan kami ke seberang sungai?”
“datok ni dah tuha.
 Mana kuat lagi untuk mendayung perahu !” kata si kakek sambil terkekeh.
 “kalau kalian ingin menyusuk mereka, pakai sajalah perahuku yang ada di
 tepi sungai itu.” 
Kakak  beradik
 itu pun memberanikan diri untuk membawa perahu si kakek. Mereka 
berjanji akan mengembalikan perahu tersebut jika telah berhasil 
menemukan kedua orang tua mereka. Setelah mengucapkan terima kasih, 
mereka menaiki perahu dan mendayung menuju keseberang. Keduannya lupa 
akan rasa lapar yang membelit perut mereka karena rasa gembira setelah 
mengetahui keberadaan orang tua mereka. Akhirnya mereka sampai di 
seberang dan menambatkan perahu tersebut dalam sebuah anak sungai. 
Setelah dua hari lamanya berjalan dengan perut kosong, barulah mereka 
menemui ujung sebuah dusun yang jarang sekali penduduknya. 
Tampaklah
 oleh mereka sebuah pondok yang yang kelihatannya bari di bangun. 
Perlahan-lahan mereka mendekati pondok itu. Dengan perasaan cemas dan 
ragu si kakak menaiki tangga dan memanggil-manggil penghuninnya, 
sementara si adik berjalan mengitari pondok hingga ia menemukan jemuran 
pakaian yang ada di belakang  pondok.
 Ia teringat pada baju ayahnyayang pernah di jahitnya karena sobek 
terkait duri, setelah didekatinnya maka yakinlah bahwa baju itu adalah 
baju ayahnnya. Segera ia berlari menghampiri kakaknya sambil menunjukkan
 baju sang ayah yang di temukannya di belakang. Tanpa piker panjang lagi
 mereka pun memasuki pondok dan ternyata pondok tersebut memang berisi 
barang-barang milik ayah mereka. 
Rupanya
 orang tua mereka terburu-buru pergi, sehingga di dapur masih ada periuk
 yang di letakkan di atas api yang masih menyala. Di dalam periuk itu 
terdapat nasi yang sudah menjadi bubur. Karena lapar si kakak langsung 
melahap nasi bubur yang masih panas itu dengan sepuas-puasnya. Adiknya 
yang barumasuk ke dapur terkejut melihat apa yang sedang di lakukan 
kakaknya, segera iya menyambar periuk yang isinya tinggal sedikit itu. 
Karena takut tidak kebagian, ia langsung melahap nasi bubur tersebut 
sekaligus dengan periuknya. Karena bubur yang dimakan masih panas maka 
suhu badan mereka pun menjadi naik tak terhingga. Dalam keadaan tak 
karuan demikian, keduanya berlari kesana kemari hendak mencari sungai. 
Setiap pohon pisang yang mereka temui di kanan-kiri jalan menuju sungai,
 secara bergantian mereka peluk hingga batang pisang tersebut menjadi 
layu. Begitu mereka tiba di tepi sungai, segeralah meraka mereka terjun 
kedalamnya. Hampir bersamaan dengan itu, penghuni pondok yang mmang 
benar adalah kedua orang tuanya anak yang malang itu terheran-heran 
melihat pohon pisang di sekitar pondok menjadi layu dan hangus. 
Namun
 mereka sangat terkejut ketika masuk kedalam pondok dan menjumpai sebuah
 bungkusan dan dua buah Mandau kepunyaan kedua anaknya. Sang istri trus 
memeriksa isi pondok hingga kedapur, dan ia tidak menemukan lagi periuk 
yang ditanggalkannya. Ia kemudian melapor hal itu kepada suaminya. 
Mereka kemudian bergegas turun dari pondok dan mengikuti jalan menuju 
sungaiyang di kanan-kirinya banyak terdapat pohon pisang yang telah layu
 dan hangus. 
Sesampainnya
 ditepi sungai, terlihatlah oleh mereka dua makhluk yang bergerak ke 
sana kemari di dalam air sambil menyemburkan air dari kepalanya. Pikiran
 sang suami teringat pada rentetan kejadian yang mungkin sekali ada 
hubungannya dengan keluargaya. Ia terperanjat karena tiba-tiba istrinya 
sudah tidak ada di sampingnnya. Rupannya ia menghilang secara gaib. Kini
 sadarlah sang suami bahwa istrinya bukanlah keturunan manusia biasa. 
Semenjak perkawinan mereka, sang istri memang tidak mau menceritakan 
asal usulnya. Tak lama berselang, penduduk desa datang 
berbondong-bondong ke tepi sungai untuk menyaksikan keanehan yang baru 
saja terjadi. Dua ekor ikan yang kepalanya mirip sekali dengan kepala 
manusia yang sedang bergerak kesana kemari di tengah sungai sambil 
sekali-kali muncul di permukaan dan menyemburkan air dari kepalanya. 
Masyarakat yang ada di tempat itu memperkirakan bahwa air semburan kedua
 makhluk tersebut panas sehingga dapat menyebabkan ikan-ikan kecil mati 
jika terkena semburannya. Oleh masyarakat Kutai, ikan yang 
menyembur-nyemburkan air itu dinamakan ikan pasut atau ikan pesut, sementara masyarakat di pedalaman Mahakam menamakannya ikan Bawoi.
0 komentar:
Posting Komentar