Tanggal 2 November 1949 merupakan hari ditetapkannya rupiah sebagai mata uang resmi Negara Indonesia dan mata uang
 rupiah dicetak serta diatur pengunaannya oleh Bank Indonesia. Walaupun 
saat itu Kepulauan Riau dan Irian Barat memiliki variasi rupiah mereka 
sendiri tetapi penggunaan mereka dibubarkan pada tahun 1964 di Riau dan 
1974 di Irian Barat.
Pemerintah memandang perlu mengeluarkan mata uang
 sendiri  selain berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah juga 
dijadikan lambing utama Negara yang sudah merdeka.  Perkataan “rupiah” 
berasal dari perkataan “Rupee”, satuan mata uang India. Indonesia telah menggunakan mata uang Gulden Belanda dari tahun 1610 hingga 1817. Setelah tahun 1817, dikenalkan mata uang Gulden Hindia Belanda.
Mata uang
 rupiah pertama kali diperkenalkan secara resmi pada waktu Pendudukan 
Jepang sewaktu Perang Dunia ke-2, dengan nama rupiah Hindia Belanda. 
Setelah berakhirnya perang, Bank Jawa (Javaans Bank, selanjutnya menjadi
 Bank Indonesia) memperkenalkan mata uang rupiah jawa sebagai pengganti. Mata uang gulden NICA yang dibuat oleh Sekutu dan beberapa mata uang yang dicetak kumpulan gerilya juga berlaku pada masa itu.
Rupiah merupakan mata uang
 yang boleh ditukar dengan bebas tetapi didagangkan dengan pinalti 
disebabkan kadar inflasi yang tinggi . Mata Uang Baru dalam sejarah 
nilai uang fungsi dan jenis jenis uang serta pembuatannya ternyata 
mengalami banyak cerita dan sejarah yang panjang di negara indonesia
Keadaan ekonomi di Indonesia pada awal kemerdekaan ditandai dengan hiperinflasi akibat peredaran beberapa mata uang yang tidak terkendali, sementara Pemerintah Republik Indonesia belum memiliki mata uang. Ada tiga mata uang yang dinyatakan berlaku oleh pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1945, yaitu mata uang Jepang, mata uang Hindia Belanda, dan mata uang De Javasche Bank.
Diantara ketiga mata uang tersebut yang nilai tukarnya mengalami penurunan tajam adalah mata uang
 Jepang. Peredarannya mencapai empat milyar sehingga mata uang Jepang 
tersebut menjadi sumber hiperinflasi. Lapisan masyarakat yang paling 
menderita adalah petani, karena merekalah yang paling banyak menyimpan mata uang Jepang.
Kekacauan
 ekonomi akibat hiperinflasi diperparah oleh kebijakan Panglima AFNEI 
(Allied Forces Netherlands East Indies) Letjen Sir Montagu Stopford yang
 pada 6 Maret 1946 mengumumkan pemberlakuan mata uang NICA di 
seluruh wilayah Indonesia yang telah diduduki oleh pasukan AFNEI. 
Kebijakan ini diprotes keras oleh pemerintah Republik Indonesia , karena
 melanggar persetujuan bahwa masing-masing pihak tidak boleh 
mengeluarkan mata uang
 baru selama belum adanya penyelesaian politik. Namun protes keras ini 
diabaikan oleh AFNEI. Mata uang NICA digunakan AFNEI untuk membiayai 
operasi-operasi militernya di Indonesia dan sekaligus mengacaukan 
perekonomian nasional, sehingga akan muncul krisis kepercayaan rakyat 
terhadap kemampuan pemerintah Republik Indonesia  dalam mengatasi 
persoalan ekonomi nasional.
Karena 
protesnya tidak ditanggapi, maka pemerintah Republik Indonesia  
mengeluarkan kebijakan yang melarang seluruh rakyat Indonesia 
menggunakan mata uang 
NICA sebagai alat tukar. Langkah ini sangat penting karena peredaran 
mata uang NICA berada di luar kendali pemerintah RI, sehingga 
menyulitkan perbaikan ekonomi nasional.
Oleh karena AFNEI tidak mencabut pemberlakuan mata uang NICA, maka pada tanggal 26 Oktober 1946 pemerintah Republik Indonesia memberlakukan mata uang
 baru ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai alat tukar yang sah di 
seluruh wilayah Republik Indonesia . Sejak saat itu mata uang Jepang, mata uang
 Hindia Belanda dan mata uang De Javasche Bank dinyatakan tidak berlaku 
lagi. Dengan demikian hanya ada dua mata uang yang berlaku yaitu ORI dan
 NICA. Masing-masing mata uang hanya diakui oleh yang 
mengeluarkannya. Jadi ORI hanya diakui oleh pemerintah Republik 
Indonesia  dan mata uang NICA hanya diakui oleh AFNEI. Rakyat ternyata 
lebih banyak memberikan dukungan kepada ORI. Hal ini mempunyai dampak 
politik bahwa rakyat lebih berpihak kepada pemerintah Republik 
Indonesia  dari pada pemerintah sementara NICA yang hanya didukung 
AFNEI.
Untuk mengatur nilai tukar ORI
 dengan valuta asing yang ada di Indonesia, pemerintah Republik 
Indonesia  pada tanggal 1 November 1946 mengubah Yayasan Pusat Bank 
pimpinan Margono Djojohadikusumo menjadi Bank Negara Indonesia (BNI). 
Beberapa bulan sebelumnya pemerintah juga telah mengubah bank pemerintah
 pendudukan Jepang Shomin Ginko menjadi Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan 
Tyokin Kyoku menjadi Kantor Tabungan Pos (KTP) yang berubah nama pada 
Juni 1949 menjadi Bank tabungan Pos dan akhirnya di tahun 1950 menjadi 
Bank Tabungan Negara (BTN). Semua bank ini berfungsi sebagai bank umum 
yang dijalankan oleh pemerintah Republik Indonesia  . Fungsi utamanya 
adalah menghimpun dan menyalurkan dana atau uang masyarakat serta 
pemberi jasa di dalam lalu lintas pembayaran.
Jauh
 sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah menjadi pusat 
perdagangan internasional. Sementara di daratan Eropa muncul lembaga 
perbankan sederhana, seperti Bank van Leening di negeri Belanda. Sistem 
perbankan ini kemudian dibawa oleh bangsa barat yang mengekspansi 
nusantara pada waktu yang sama. VOC di Jawa pada 1746 mendirikan De Bank
 van Leening yang kemudian menjadi De Bank Courant en Bank van Leening 
pada 1752. Bank itu adalah bank pertama yang lahir di nusantara, cikal 
bakal dari dunia perbankan pada masa selanjutnya. Pada 24 Januari 1828, 
pemerintah Hindia Belanda mendirikan bank sirkulasi dengan nama De 
Javasche Bank (DJB). Selama berpuluh-puluh tahun bank tersebut 
beroperasi dan berkembang berdasarkan suatu oktroi dari penguasa 
Kerajaan Belanda, hingga akhirnya diundangkan DJB Wet 1922.
Masa
 pendudukan Jepang telah menghentikan kegiatan DJB dan perbankan Hindia 
Belanda untuk sementara waktu. Kemudian masa revolusi tiba, Hindia 
Belanda mengalami dualisme kekuasaan, antara Republik Indonesia (RI) dan
 Nederlandsche Indische Civil Administrative (NICA). Perbankan pun 
terbagi dua, DJB dan bank-bank Belanda di wilayah NICA sedangkan 
“Jajasan Poesat Bank Indonesia” dan Bank Negara Indonesia di wilayah 
Republik Indonesia  . Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 mengakhiri 
konflik Indonesia dan Belanda, ditetapkan kemudian DJB sebagai bank 
sentral bagi Republik Indonesia Serikat (RIS). Status ini terus bertahan
 hingga masa kembalinya Republik Indonesia  dalam negara kesatuan. 
Berikutnya sebagai bangsa dan negara yang berdaulat, Republik Indonesia 
 menasionalisasi bank sentralnya. Maka sejak 1 Juli 1953 berubahlah DJB 
menjadi Bank Indonesia, bank sentral bagi Republik Indonesia.
Krisis ekonomi Asia tahun 1998 menyebabkan nilai tukar mata uang rupiah jatuh hingga 35% dan dengan melemahnya mata uang rupiah keadaan perekonomian di Indonesia  menjadi menurun.
0 komentar:
Posting Komentar